Menghadang Badai, Ditimpa Duka Dan Awal Eksistensi Di Divisi Utama Galatama (Sejarah Semen Padang FC Part III)
Oleh: SPFC Media, Jumat, 06-11-2020

Sejarah – Mengarungi musim pertama Divisi Utama Galatama sebagai juara di Divisi II, membuat ekpekstasi masyarakat sangat tinggi atas tim PS Semen Padang (PSSP). Motivasi tinggi tersebut, membuat seluruh jajaran tim ingin membalas dukungan penuh masyarakat dengan prestasi. Terbukti, dimusim pertama keikutsertaan tim dalam kompetisi bergengsi semi profesional tahun 1983/1984 ini, tim Kabau Sirah nangkring diposisi kelima. Ini tentunya pencapaian yang sangat luar biasa, dan membuat supporter semakin antusias. Dalam setiap laga kandang, selalu dipenuhi sesak penonton. Tak hanya itu, diluar kandangpun banyak tim-tim lain yang dibuat terheran. Pasalnya, tim yang masih terbilang baru sudah mulai memiliki basis suporter dengan jumlah yang sangat banyak. Kota-kota seperti Jakarta, Medan dan Bandung adalah basis pendukung tim PSSP.

Ditengah tingginya harapan masyarakat kepada tim kebanggaan, badai mulai melanda tim PSSP. Tim yang ibaratnya masih “Bayi Merah”, harus menghadapi masalah ego kedaerahan antar pemain dalam tim, yang membuat adanya kubu-kubuan di tim memasuki musim berikutnya. Bahkan yang paling mencolok adalah adanya kubu-kubuan pemain lokal asal Sumbar dan Medan. Kubu-kubuan ini terus berlanjut selama persiapan tim.

Puncaknya, terjadi perkelahian massal antar dua kubu pemain tersebut, antara kubu pemain lokal dan kubu pemain asal Sumatera Utara (Medan) di Stadion Imam Bonjol pada bulan April 1984. Bahkan parahnya, perkelahian ini disaksikan oleh ratusan suporter dan perwakilan PSSI. Praktis masalah ini langsung mendapatkan reaksi keras dari Direktur Utama PT. Semen Padang, Joni Marsinih dan Gubernur Sumbar, Azwar Anas. Meski persoalan ini sampai dibicarakan ditingkat nasional, akhirnya perlahan-lahan semuanya bisa diatasi. Kondisi tim kembali membaik untuk mengikuti kompetisi Galatama yang akan diputar pada Agustus 1984. Pelajaran-pelajaran dari kejadian sebelumnya membuat Managemen makin serius untuk mengelola tim dan menjadi titik awal eksistensi tim di Liga Indonesia.

Tim PSSP dalam perjalanan liga terus konsisten dipapan tengah klasemen. Berturut-turut, PSSP duduk di peringkat enam pada musim 1984/1985, peringkat kelima dimusim 1985/1986 dan peringkat keenam selama tiga musim berturut-turut ditahun kompetisi 1986-87, 1987-1988, 1988-1989.

Di awal tahun 1987 sendiri, PSSP harus mendapat tamparan ditinggal sosok yang berpengaruh di tim. Sebagaimana diketahui, Manajer Tim PSSP waktu itu, Drs. Suhaimi Irwan meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas di mulut gerbang Bandara Soekarno-Hatta (Cengkareng), Sabtu, 31 Januari 1987. Pada saat itu, rombongan PSSP hendak kembali ke Padang usai mengikuti turnamen segitiga HUT PD Pasar Jaya di Stadion Utama, Senayan, Jakarta (28-30 Januari 1987).

Duka mendalam tidak hanya dirasakan oleh tim, tapi juga seluruh insan sepakbola dan masyarakat Sumatera Barat. Isak tangis mewarnai kedatangan tim di bandara Tabing. Tampak hadir Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas, Wali Kota Padang Syahrul Ujud, tokoh-tokoh Semen Padang dan KONI Sumatera Barat, serta Direktur Utama Semen Padang Ir. Hamdi Gaffar.

Untuk mengenang jasa beliau, maka diadakanlah “Piala Kenangan Suhaimi Irwan 1987” dari tanggal 20-22 Maret 1987. Piala Kenangan Suhaimi Irwan 1987 tersebut, diikuti tiga tim yaitu Semen Padang, Krama Yudha, dan Pelita Jaya. Bahkan tim Krama Yudha dan Pelita Jaya, bertanding tanpa minta imbalan. Pertandingan ini dilaksanakan setelah semua tim menyelesaikan pertandingan penyisihan Piala Liga. Pelita Jaya pun tercatat sebagai juara Piala Kenangan Suhaimi Irwan 1987.

Dimusin kompetisi 1989-1990 tim PSSP harus puas diposisi ketujuh klasemen. Tiga musim selanjutnya, hasil yang dicapai diakhir liga mengalami kemerosotan. Tercatat PSSP hanya menepati peringkat 11 klasemen akhir ditahun 1990/1991, peringkat 10 ditahun kompetisi 1991/1992.

Barulah pada musim kompetisi 1993-94, dengan format Divisi Utama yang baru dan terakhir sebelum penyatuan dengan Perserikatan, PSSP nyaris lolos ke semifinal. Namun sayang, PSSP hanya sebagai peringkat ketiga Wilayah Barat di bawah Medan Jaya dan Pelita Jaya dengan poin 41, berjarak 5 poin dari peringkat pertama dan 3 poin dari peringkat kedua, hasil dari 19 kemenangan, dan tujuh hasil imbang.

Meski hanya berada dipapan, tengah tim PSSP berhasil menelurkan legenda-legenda tim yang sampai sekarang tentunya tidak akan terlupakan oleh pecinta PSSP atau lebih dikenalnya SPFC sekarang. Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, tentunya kita tidak akan lupa dengan generasi awal seperti, Aprius, Syafrianto Rusli, Suranto, Muharman, Ramlan serta Dahlan dan Zalfi.

Generasi selanjutnya ada Trisno Afandi, Asfinal, Abdul Azis, Ahmad Sukri, Anton Syofnevil, Hendra Susilo, Afdal Yusra, Weliansyah serta Masykur Rauf. Siapa yang tidak kenal dengan nama-nama diatas. Syafrianto Rusli yang juga sebagai instruktur pelatih di Indonesia, Weliansyah dan Hendra Susilo yang saat ini menjabat asisten pelatih tim. Trisno Afandi yang pernah merangkap pemain dan pelatih kiper. Atau sang kapten fenomenal dan maestro dari Makassar, Maskur Rauf.

Digenerasi selanjutnya juga ada nama-nama yang tak kalah tenar seperti Ricky Darman, Delfi Adri, Taufik Yunus, Endra Mahyuni dan Nil Maizar.

Tiga generasi tersebut, juga mendapat apresiasi dari PT. Semen Padang dengan menjadikan sebagai karyawan tetap diperusahaan. Usulan ini merupakan hasil usulan dan perjuangan dari (alm) Drs. Suhaimi Irwan atas jasa dari legenda-legenda PSSP tersebut dalam memberi prestasi kepada tim. Nama-nama ini nantinya juga yang menjadi pondasi tim dalam mengarungi format baru penyatuan liga galatama dan perserikatan menjadi “Liga Indonesia”.

Bersambung…

Sponsor Ads